BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Beberapa ahli seperti Goodenough (1971),
Spradley (1972), dan Geertz (1973) mendefinisikan arti kebudayaan di mana
kebudayaan merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki
oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan
pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan
alam dan sosial di tempat mereka berada (Sairin , 2002).
Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan,
kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble
power), yang mampu menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan
itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang
menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik,
kesenian dan sebagainya.
Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak
diperoleh manusia dengan begitu saja secara ascribed, tetapi melalui
proses belajar yang berlangsung tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan
sampai dengan ajal menjemputnya. Proses belajar dalam konteks kebudayaan bukan
hanya dalam bentuk internalisasi dari sistem “pengetahuan” yang diperoleh
manusia melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga.
Melalui pewarisan kebudayaan dan
internalisasi pada setiap individu, pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi
kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat setempat dan memelihara
hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses perubahan tatanan
sosio-kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan peradabannya.
Sebaliknya, dimensi-dimensi sosial yang
senantiasa mengalami dinamika perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan faktor dominan yang telah membentuk
eksistensi pendidikan manusia. Penggunaan alat dan sarana kebutuhan hidup yang
modern telah memungkinkan pola pikir dan sikap manusia untuk memproduk
nilai-nilai baru sesuai dengan intensitas pengaruh teknologi terhadap tatanan
kehidupan sosial budaya.
Berbicara tentang tatanan kehidupan
sosial budaya, berbagai bidang kajian banyak dilakukan, termasuk upaya untuk
meneliti tentang keanekaragaman makhluk manusia dan kebudayaannya di berbagai
tempat di muka bumi, termasuk di Sulawesi Tengah. Sulawesi Tengah merupakan
salah satu provinsi yang memiliki berbagai macam ragam kebudayaan yang unik dan
menarik untuk diketahui.
Wujud dari keanekaragaman masyarakat itu
di samping disebabkan oleh akibat dari sejarah mereka masing-masing; juga
karena pengaruh lingkungan alam dan struktur internalnya. Oleh karenanya sesuatu
unsur atau adat dalam suatu kebudayaan, tidak dapat dinilai dari pandangan
kebudayaan lain, melainkan harus dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan
itu sendiri (relativisme kebudayaan).
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana keberagaman kebudayaan di
dalam suatu wilayah khususnya Sulawesi Tengah.
Bagaimana hubungan sosial-budaya yang
terjadi di dalam masyarakat di wilayah Sulawesi Tengah.
Bagaimana hubungan sosial-budaya yang
terjadi dengan lingkungan hidup masyarakat di Sulawesi Tengah.
1.3
Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana keberagaman
kebudayaan di dalam suatu wilayah khususnya Sulawesi Tengah.
Untuk mengetahui bagaimana hubungan
sosial-budaya yang terjadi di dalam masyarakat di wilayah Sulawesi Tengah.
Untuk mengetahui bagaimana hubungan
sosial-budaya yang terjadi dengan lingkungan hidup masyarakat di Sulawesi
Tengah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Budaya
Dan Kebudayaan
Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk
sistem agama dan politik, adat istiadat,
bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
orang yang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang
berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu di pelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh.
Budaya bersifat abstrak, kompleks, dan luas. Banyak aspek budaya turut
menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan
meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami
kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dari
definisi budaya : Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang
dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri. “Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam
berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan
individu dengan alam” di Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya
yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman
mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang
dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa
bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang
menyiapkan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas
seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Kebudayaan sangat erat hubungannya
dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan
bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan
yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah
Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai
sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang
kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan
serta seluruh struktur-struktur sosial, religius dan lain-lain, tambahan lagi
segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Dari berbagai pengertian menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi
tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2.2 Perubahan
Sosial Budaya
Masyarakat (manusia) di manapun tempatnya pasti mendambakan
kemajuan dan peningkatan kesejahteraan yang optimal. Kondisi masyarakat secara
obyektif merupakan hasil tali temali antara lingkungan alam, lingkungan sosial serta karakteristik
individu. Ketiga-tiganya selalu berhubungan antara satu sama lain, sehingga membentuk sebuah bangunan
masyarakat yang dapat dilihat sebagai sebuah realitas sosial.
Perubahan sosial dapat dikatakan sebagai suatu
perubahan dari gejala-gejala sosial yang ada pada masyarakat, dari yang
bersifat individual sampai yang lebih kompleks. Perubahan sosial dapat dilihat
dari segi terganggunya kesinambungan diantara kesatuan sosial walaupun
keadaannya relatif kecil. Perubahan ini meliputi struktur, fungsi, nilai,
norma, pranata, dan semua aspek yang dihasilkan dari interaksi antarmanusia,
organisasi atau komunitas, termasuk perubahan dalam hal budaya. Jadi, Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala
berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat.
Apabila perubahan sosial dipahami sebagai suatu
bentuk peradaban manusia akibat adanya ekskalasi perubahan alam, biologis
maupun kondisi fisik maka pada dasarnya perubahan sosial merupakan sebuah
keniscayaan yang terjadi sepanjang hidup. Ruang gerak perubahan itupun juga
berlapis-lapis, dimulai dari kelompok terkecil seperti keluarga sampai pada
kejadian yang paling lengkap mencakup tarikan kekuatan kelembagaan dalam
masyarakat.
Perubahan sosial
sebagai “cetak biru” pemikiran, pada akhirnya akan memiliki manfaat untuk
memahami kehidupan manusia dalam kaitan dengan lingkungan kebudayaannya.
Kehidupan manusia adalah satuan sosial terkecil, dalam pola belajarnya akan
berhadapan dengan tiga sistem aktivitas. Menurut Peter Senge, 2000 (dalam
Salim, 2002) bahwa manusia akan menjumpai 3 lingkungan yakni;
1)
ruang kelas dalam sekolah: manusia akan
belajar dalam lingkungan kelas sehingga melibatkan unsur guru, orang tua dan
murid.
2)
Lingkungan sekolah: manusia akan belajar
dalam lingkungan sekolah sehingga melibatkan unsur kepala sekolah, kelompok
pengajar, murid di kelas lain dan pegawai administrasi.
3)
Lingkungan
komunitas masyarakat: manusia akan belajar dari lingkungan komunitasnya
sehingga mencakup peran serta masyarakat, kelompok-kelompok belajar sepanjang
hidup, birokrasi yang mendukung, sumber informasi yang luas dan beragam dll.
Dengan begitu kehidupan manusia tidak dapat dilepas
dari peran ketiga lingkungan sistem aktivitas belajar dan mencermati dirinya,
terbentuknya kesadaran, pengalaman yang menggelitas dan keberanian untuk mulai
menapak menggunakan potensi yang dimilikinya.
Perubahan Sosial budaya dapat terjadi bila sebuah
kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Adanya perubahan sosial
budaya secara langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak positif dan
negatif.
Akibat
Positif :
Perubahan dapat terjadi jika masyarakat dengan kebudayaan
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Keadaan masyarakat yang memiliki
kemampuan dalam menyesuaikan diri disebut adjusment, sedangkan bentuk
penyesuaian dengan gerak perubahan disebut integrasi.
Akibat
Negatif :
Akibat
negatif terjadi apabila masyarakat dengan kebudayaannya tidak mampu
menyesuaikan diri dengan gerak perubahan. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan
diri dengan perubahan disebut maladjusment. Maladjusment akan menimbulkan
disintegrasi. Penerimaan masyarakat terhadap perubahan sosial budaya dapat
dilihat dari perilaku masyarakat yang bersangkutan.
Apabila perubahan
sosial budaya tersebut tidak berpengaruh pada keberadaan atau pelaksanaan nilai
dan norma maka perilaku masyarakat akan positif. Namun, jika perubahan sosial
budaya tersebut menyimpang atau berpengaruh pada nilai dan norma maka perilaku
masyarakat akan negatif.
2.3 Sosial
Budaya Sulawesi Tengah
Ibukota Sulawesi Tengah adalah Palu. Kota ini
terletak di Teluk Palu dan terbagi dua oleh Sungai Palu yang membujur dari
Lembah Palu dan bermuara di laut. Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 19
kelompok etnis atau suku, yaitu:
1.
Etnis Kaili
berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu
2.
Etnis Kulawi
berdiam di kabupaten Donggala
3.
Etnis Lore
berdiam di kabupaten Poso
4.
Etnis Pamona berdiam di kabupaten Poso
5.
Etnis Mori
berdiam di kabupaten Morowali
6.
Etnis Bungku
berdiam di kabupaten Morowali
7.
Etnis Saluan atau Loinang
berdiam di kabupaten Banggai
8.
Etnis Balantak
berdiam di kabupaten Banggai
9.
Etnis Mamasa berdiam di kabupaten Banggai
10.
Etnis Taa
berdiam di kabupaten Banggai
11.
Etnis Bare'e
berdiam di kabupaten
Touna
12.
Etnis Banggai berdiam di Banggai
Kepulauan
13.
Etnis Buol
mendiami kabupaten Buol
14.
Etnis Tolitoli
berdiam di kabupaten Tolitoli
15.
Etnis Tomini
mendiami kabupaten
Parigi Moutong
16.
Etnis Dampal
berdiam di Dampal,
kabupaten Tolitoli
17.
Etnis Dondo
berdiam di Dondo,
kabupaten Tolitoli
18.
Etnis Pendau
berdiam di kabupaten Tolitoli
19.
Etnis Dampelas
berdiam di kabupaten Donggala
Dari 19 kelompok/ etnis tersebut, Jumlah tokoh
pemangku adat adalah sebanyak 216 orang. Di samping 12 kelompok etnis, ada
beberapa suku terasing hidup di daerah pegunungan seperti suku Da'a di
Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea di Banggai dan suku Daya di Buol
Tolitoli. Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang
saling berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya, namun masyarakat
dapat berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional dan bahasa pengantar sehari-hari.
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula
oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur dengan masyarakat Bugis dan Makasar serta etnis lainnya di Indonesia
sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar
2.128.000 jiwa yang mayoritas beragama islam, lainnya Kristen, Hindu dan
Buddha. Tingkat toleransi beragama sangat tinggi dan semangat gotong-royong
yang kuat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan diketuai
oleh ketua adat disamping pimpinan pemerintahan seperti Kepala Desa. Ketua adat
menetapkan hukum adat dan denda berupa kerbau bagi yang melanggar. Umumnya
masyarakat yang jujur dan ramah sering mengadakan upacara untuk menyambut para
tamu seperti persembahan ayam putih, beras, telur dan tuak yang difermentasikan
dan disimpan dalam bambu. Secara tradisional, masyarakat Sulawesi Tengah
memiliki seperangkat pakaian adat yang dibuat dari kulit kayu ivo (sejenis
pohon beringin) yang halus dan tinggi mutunya. Pakaian adat ini dibedakan untuk
kaum pria dan kaum wanita. Unsur-unsur adat dan budaya yang masih dimiliki
antara lain:
1.
Pakaian adat terbuat dari kulit kayu ivo
2.
Rumah adat yang disebut tambi
3.
Upacara adat
4.
Kesenian (Modero/ tari pesta menyambut
panen, Vaino/ pembacaan syair-syair yang dilagukan pada saat kedugaan,
Dadendate, Kakula, Lumense dan PeuleCinde/ tari untuk menyambut tamu terhormat,
Mamosa/ tarian perang, Morego/ tari menyambut pahlawan, Pajoge/ tarian dalam
pelantikan raja/ pejabat dan Balia/ tarian yang berkaitan dengan kepercayaan
animisme).
Selain mempunyai adat dan budaya yang merupakan ciri
khas daerah, di Sulawesi Tengah juga memiliki kerajinan-kerajinan yang unik
juga yaitu:
1.
Kerajinan kayu hitam (ebony)
2.
Kerajinan anyaman
3.
Kerajinan kain tenun Donggala dan
4.
Kerajinan pakaian dari kulit ivo.
Secara
Umum kondisi keberagamaan
agama
yang dianut oleh masyarakat
pada tahun 2005 terdiri dari:
1.
Masyarakat penganut Agama Islam dengan
tingkat persentase sebesar 78,9%
2.
Masyarakat penganut Agama Kristen
Protestan dengan tingkat persentase sebesar 16,29%
3.
Masyarakat penganut Agama Kristen
Katolik dengan tingkat persentase sebesar 1,47%
4.
Masyarakat penganut Agama Hindu dengan
tingkat persentase sebesar 3,07%
5.
Masyarakat penganut Agama Buddha dengan
tingkat persentase sebesar 0,68%.
Keberagaman pemeluk agama di Sulawesi Tengah di
komunikasikan melalui Forum Komunikasi Antar Umat Beragama yang berfungsi
mendinamisir kerukunan kehidupan antar umat beragama, intern umat beragama dan
kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah, dengan pola saling menghargai
antar satu sama lainnya.
Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian
penduduk dengan padi sebagai tanaman utama. Kopi,
kelapa, kakao dan cengkeh merupakan tanaman perdagangan unggulan daerah ini dan
hasil hutan berupa rotan,
beberapa macam kayu seperti agatis, ebony dan
meranti yang merupakan andalan Sulawesi Tengah.
2.3.1 Budaya Sulawesi Tengah Secara Umum
Sulawesi Tengah
kaya akan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut
aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan
lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa
bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama. Karena banyak
kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di
antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat.
Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur
dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di
bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado,
terlihat dari dialek daerah Luwuk dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.
Ada juga
pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan.
Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu.
Pusat-pusat penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan
Banawa. Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik spesial yang bermotif
Bali, India dan Jepang masih dapat ditemukan. Sementara masyarakat pegunungan
memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi
Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah
berbeda dengan Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit
beringin sebagai pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah
terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang dan hanya memiliki
satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang
digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat
tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri. Buya atau
sarung seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus
yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga
merupakan pengaruh kerajaan Eropa. Baju banjara yang disulam dengan benang emas
merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra
yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni
dan parang yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat.
2.3.2 Kesenian
Musik dan tarian di Sulawesi
Tengah bervariasi antara daerah yang satu dengan lainnya. Musik tradisional
memiliki instrumen seperti suling, gong dan gendang. Alat musik ini lebih
berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai bagian ritual keagamaan. Di wilayah
beretnis Kaili sekitar pantai barat - waino - musik tradisional - ditampilkan ketika
ada upacara kematian. Kesenian ini telah dikembangkan dalam bentuk yang lebih
populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari pasangan di suatu keramaian.
Banyak tarian yang berasal dari kepercayaan keagamaan dan ditampilkan ketika
festival.
Tari masyarakat yang terkenal
adalah Dero yang berasal dari masyarakat Pamona, kabupaten Poso dan kemudian
diikuti masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tarian dero khusus ditampilkan
ketika musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu.
Dero adalah salah satu tarian dimana laki-laki dan perempuan berpegangan tangan
dan membentuk lingkaran. Tarian ini bukan warisan leluhur tetapi merupakan
kebiasaan selama pendudukan jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II. Di Sulawesi
Tengah terdapat suku yang berbeda-beda. Suku-suku tersebut juga memiliki budaya
yang berbeda-beda.
2.4
Suku-Suku Di Sulawesi Tengah
1.
Suku Kaili
Suku
Kaili adalah suku bangsa
di Indonesia
yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah,
khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi,
dan Kota Palu,
di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi,
dan Gunung Raranggonau. Mereka
juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten
Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan
Kabupaten Poso.
Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi,
Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami
daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso. Untuk menyatakan "orang
Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To"
yaitu To Kaili.
Ada beberapa pendapat yang
mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa
kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili
yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu
dan Teluk Palu. Pada zaman
dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai
sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke
Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada
sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian
juga akan surut pada saat air laut surut. Menurut cerita (tutura),
dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili
yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut
atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu.
a. Bahasa
Suku Kaili mengenal lebih dari
dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam
percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km
kita bisa menemukan bahasa yang
berbeda satu dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa
Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini
dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo
yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar
Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu,
Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa
bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih
dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise, Lasoani,
Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi
(Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti, Banawa, Loli, Dalaka, Limboro,
Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya,
Sibovi dan Pandere), bahasa Edo (Pakuli, Tuva), bahasa Ija (Bora,
Vatunonju), bahsa Da'a (Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e
(Tojo, Unauna dan Poso). Uniknya, semua kata dasar bahasa tersebut berarti
"tidak".
b. Sosial Budaya
Sebagaimana suku-suku lainnya di
wilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai
bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai
aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum
adat. Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta
perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian
(no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen
(no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan
penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa
sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini
masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan
Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat
setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang
mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting
rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran
agama Islam. Selain itu terdapat alat musik kaili. Beberapa instrumen musik
yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain : Kakula (disebut juga
gulintang, sejenis gamelan pentatonis), Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab
berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo (gong),
suli (suling).
Salah satu kerajinan masyarakat
suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah
Wani, Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili
disebut Buya Sabe, tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan
Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe ini pun mempunyai nama-nama tersendiri
berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga
sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam, seperti warna
Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga),
Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Di daerah Kulawi masih ditemukan
adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut
Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para
wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Sebelum masuknya agama ke Tanah
Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek
moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro) dan dewa
Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah kaili, setelah datangnya
seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari Minangkabau bernama
Abdul Raqi. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun
bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah kaili, Abdul Raqi dikenal dengan
nama Dato Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat kemampuan
beliau yang berada diluar kemampuan manusia pada umumnya. Makam Dato Karama
sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang dibawah pengawasan Pemerintah
Daerah. Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada
kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang
disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).
2. Suku Kulawi
Kulawi terletak di pegunungan bagian selatan 17 km
dari Palu. Yang dikenal dengan budayanya yang unik. Kulawi merupakan kawasan
pegunungan yang dikelilingi oleh ladang padi, sayuran dan cengkeh. Masyarakat
beragama Kristen dengan Kulawi sebagai pusatnya. Bala keselamatan menyebar di
bagian timur Indonesia termasuk di Kulawi dan mereka memiliki gereja dan rumah
sakit. Akan tetapi budaya tradisional tetap berakar kokoh di masyarakat. Dan
festival dilaksanakan menurut tradisi lama. Pakaian wanita Kulawi cukup menarik
yang dipakai ketika upacara atau bergereja di hari Minggu. Disana terdapat
penginapan untuk menginap milik Pemerintah. Musik Bambu-Orkestra Tradisional
merupakan kebanggaan masyarakat dataran Lindu, Kulawi dan Poso. Suku-suku
tersebut berdiam di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah sebagai bagian dari
khasanah kebudayaan yang saat ini masih bertahan.
Tahun 1905 di Bulu Momi terjadi perang antara
masyarakat Kulawi melawan kolonial Belanda dibawah pimpinan seorang pahlawan
Kulawi yaitu Towualangi yang juga disebut Taentorengke. Ketika perang
berlangsung, pada saat itu pula kolonial Belanda mulai berkuasa di Kulawi untuk
menjadikan Kulawi sebagai daerah kerajaan, maka pada tahun 1906 Kolonial
Belanda mengangkat Towualangi menjadi raja Kulawi yang pertama. Dan oleh
kolonial Belanda wilayah dataran Lindu masuk kedalam wilayah administrasi
Kerajaan Kulawi. Sejarah menunjukkan bahwa pada mulanya penduduk Lindu terdiri
atas 7 pemukiman yang disebut Pitu Ngata. Dan untuk mengatur tatanan hidup
masyarakat Pitu Ngata itu, ada sebuah lembaga yang disebut Maradika Ngata yang
terdiri dari empat orang lembaga dengan sebutan 1. Jogugu, 2. Kapita, 3.
Pabisara dan 4. Galara. Keempat Lembaga ini berfungsi sebagai Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif.
Ketika kolonial Belanda berkuasa di Kulawi, maka
pada tahun 1908 dataran Lindu yang terdiri dari Pitu Ngata diresetlement
menjadi 3 pemukiman yaitu menjadikan :
1.
Penduduk yang bermukim di Langko dan
Wongkodono dikumpulkan menjadi satu di Langko.
2.
Penduduk yang bermukim di Olu, Luo,
Palili dikumpulkan menjadi satu tempat pemukiman di Tomado.
3.
Penduduk yang bermukim di Paku Anca,
dikumpulkan menjadi satu tempat pemukiman di Anca.
Untuk Mengatur tempat pemukiman baru tersebut, maka
pemerintah kolonial Belanda menunjuk Lakese menjadi Kepala Kampung yang pertama
di tiga tempat pemukiman baru itu, dengan tugas pokok yaitu : membangun rumah
tinggal penduduk di tempat pemukiman yang baru dan membuka areal persawahan
penduduk di sekitar wilayah Langko. Sesudah penunjukan kepala kampung yang
pertama Lakese, sesuai tuntutan perkembangan dari ketiga wilayah pemukiman
tersebut, berdasarkan perencanaan pemerintah kolonial Belanda maka pemukiman
baru menjadi 3 desa, yaitu desa Langko, Tomado dan Anca, sebagaimana yang ada
sampai sekarang ini.
Pada tahun 1960 sesuai dengan perkembangan penduduk
di kecamatan Kulawi, sebagian penduduk desa Lonca dan Winatu kecamatan Kulawi
diresetlemen ke wilayah bagian selatan desa Langko yang disebut Puroo. Atas
kebijakan pemerintah kecamatan Kulawi pada waktu itu, sehingga memicu berbagai
reaksi keras dari masyarakat Lindu karena merasa integritas wilayahnya
terganggu. Masalah yang memicu keadaan pada waktu itu terjadi penembakan hewan
kerbau dan sapi secara brutal yang dilakukan oleh Londora Kodu, mantan Tentara
KNIL sebagai pejabat kepala kampung Langko, yang ditempatkan oleh pemerintah
kecamatan Kulawi yang dijabat oleh Ibrahim Bandu B.A.
Akibat masalah tersebut diatas, maka masyarakat 3
desa itu semakin sulit dikendalikan oleh pemerintah kecamatan Kulawi sehingga
masyarakat Lindu diembargo perekonomiannya oleh pemerintah kecamatan Kulawi
selama 3 bulan. Akibat embargo tersebut, masyarakat Lindu mengeluarkan ancaman
untuk bergabung dengan kecamatan Sigi Biromaru. Ancaman masyarakat Lindu
ditanggapi dengan serius pemerintah kecamatan Kulawi dengan mencabut kembali
sanksi ekonomi tersebut. Setelah keadaaan masyarakat Lindu menjadi tenang,
mulai saat itu pula desa Puroo sudah menjadi satu kesatuan wilayah dataran
Lindu sehingga sampai saat ini, desa-desa dataran Lindu menjadi empat desa
terdiri dari : Desa Puroo, Langko, Tomado dan Anca yang disingkat dengan PLTA.
Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan ketertiban masyarakat adat
Lindu, kepala desa dibantu oleh lembaga adat desa. Dan diatas lembaga
masing-masing desa dibentuk Lembaga Masyarakat Adat Dataran Lindu.
Masyarakat adat Lindu telah mengenal pembagian zona
pemanfaatan dan perlindungan yang ditetapkan oleh nenek moyang mereka yaitu ;
1)
Suaka Ngata.
Suaka Ngata adalah keseluruhan wilayah adat yang
dibatasi puncak bulu/gunung yang disebut diatas.
2)
Suaka Ntodea.
Suaka Ntodea
adalah wilayah pemanfaatan yang dapat dikonversi menjadi sawah atau tempat
pemukiman. Hak pemanfaatan di Suaka Ntodea dibatasi oleh hak-hak perorangan
(privat individual), seperti Ombo dan ketentuan lainnya, misalnya larangan
menebang pohon enau.
Lahirnya hak
perorangan (privat individual) dimulai ketika seseorang membuka Pangale (hutan
perawan) untuk dijadikan ladang. Dahulu masyarakat Lindu masih menggunakan
sistim perladangan berotasi. Masyarakat mengelolah lahan selama dua atau tiga
musim, kemudian diistirahatkan dan membuka ladang di tempat lain, misalnya
membuka hutan perawan yang baru atau mengolah ladang yang telah diistirahatkan.
Ladang yang diistirahatkan disebut dengan Ngura. Jika seseorang membuka pangale
dan menjadikan ladang, tetapi orang itu mengurunkan pengolahannya karena
sesuatu pertimbangan, maka Ladang ini sebut Taluboo. Namun tanah itu sudah
merupakan milik si pembuka Pangale tersebut.
3)
Suaka Nu
Maradika.
Suaka Nu
Maradika atau diberi nama lain yaitu Lambara adalah tempat perburuan dan
melepaskan hewan ternak kerbau. Dan terdapat beberapa lambara Nu Maradika,
seperti di Walatana (dekat Langko), Bulu Jara (dekat Tomado), Tongombone (dekat
Olu), Kana (dekat Luo/Palili), Bamba (dekat Paku), Malapi (dekat Anca), dan
Keratambe (dekat Tomado).
4)
Suaka Nuwiata.
Wiata dalam
bahasa Lindu berarti roh makhluk yang sudah meninggal atau makhluk “halus”. Di
kalangan orang Lindu yang masih memegang teguh tradisinya terdapat kepercayaan
kuat yang meyakini bahwa roh orang yang sudah meninggal dunia sebenarnya
mendiami daerah-daerah tertentu. Roh itu pada waktu-waktu khusus datang ke
tempat sanak keluarganya yang masih hidup. Misalnya pada saat upacara adat
panen.
Dalam tradisi
orang Lindu, Suaka Nu Wiata adalah wilayah konservasi yang mutlak. Di tempat
ini, seseorang tidak dibolehkan masuk apalagi sampai melakukan kegiatan
menebang kayu atau kegiatan yang sifatnya merusak hutan. Pelanggaran terhadap
ketentuan ini akan memperoleh sanksi adat yang Suaka Nu Wiata tidak hanya
terletak di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk, tetapi juga terdapat di
tempat yang dekat dengan perkampungan. Sehingga di tepi jalan antara desa
Langko, Tomado dan Anca terdapat hutan yang cukup lebat. Hutan-hutan ini
terletak jauh dari tapal batas Taman Nasional yang ditetapkan pemerintah.
Dalam wilayah
Suaka Nu Wiata ini pula berdasarkan pengamatan, ternyata terdapat fokus keong.
Dalam istilah kesehatan disebut penyakit Schistosomiasis. Sehingga keadaan ini
patut menjadi perhatian pemerintah, dalam hal ini instansi Dinas Kesehatan
Kabupaten Donggala dalam upaya pemberantasan penyakit endemik Schistosomiasis
dimasa mendatang. Aturan adat kami sangat sejalan dengan konservasi dan
penduduk asli di Lindu tidak ada yang merambah hutan. Babirusa, Babi hutan,
bahkan Rusa tidak kami buru dan makan, karena menurut kepercayaan setelah
meninggal orang jadi rusa sehingga kami ada semacam rasa jijik untuk memakannya.
Dengan datangnya pendatang seperti melalui program transmigrasi lokal tahun
1960an awal yang jadi kini desa Puro’o, atau orang Puroo yang pindah ke
Kangkuro, saat itu banyak hutan yang dirambah dan satwa semacam rusa sudah
susah dijumpai, padahal dulu banyak sekali. Dengan adanya KKM sekarang ini
mudah bagi kami untuk memberikan pengertian bagi pendatang tentang adat dan
budaya Lindu. Adanya KKM juga lebih menguatkan aturan Adat Lindu, karena
wilayah KKM adalah bagian dari wana ngkiki atau suaka wiata yang harus kami
jaga keberadaan dan kelestariannya demi menghormati leluhur.
3. Suku
Pamona
Suku Pamona, atau sering juga disebut suku Poso, mendiami hampir seluruh
wilayah kabupaten Poso,
Kabupaten Tojo Una-Una, Morowali,bahkan Propinsi Sulawesi Selatan (Luwu Utara).
Sedangkan sebagian kecil hidup merantau di berbagai daerah di Indonesia. Jika di suatu daerah terdapat suku
Pamona, biasanya selalu ada Rukun Poso, yaitu wadah perkumpulan orang-orang
sesuku untuk melakukan sesuatu kegiatan di daerah tersebut. Agama
yang dianut hampir seluruh anggota suku ini adalah Kristen. Agama Kristen masuk daerah sekitar 100
tahun yang lalu dan sampai sekarang diterima sebagai agama rakyat. Sekarang
semua gereja-gereja yang sealiran dengan gereja ini bernaung dibawah naungan
organisasi Gereja Kristen Sulawesi tengah (GKST) yang berpusat di Tentena,
kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Sebagian besar masyarakat sehari-hari menggunakan bahasa Pamona (Bare'e) dan
bahasa Indonesia dengan gaya bahasa setempat. Mereka berprofesi sebagai Petani,
Pegawai Negeri, Pendeta, Wiraswasta, dan lain-lain.
Sesungguhnya
suku Pamona tidak identik dengan suku Poso, Karena pada prinsipnya suku Poso
tidak ada. Yang ada adalah daerah yang bernama Poso, didiami oleh suku Pamona.
Kata "Poso" sendiri dalam bahasa Pamona berarti "pecah".
Asal nama Poso yang berarti pecah, konon dimulai dari terbentuknya Danau Poso.
Konon, danau Poso terbentuk dari sebuah lempengan tanah berbukit, dimana
dibawah lempengan bukit tersebut terdapat mata air. Disekeliling bukit
merupakan dataran rendah, sehingga aliran air dari pegunungan terkumpul
disekeliling bukit tersebut. Genangan air tersebut menggerus tanah disekeliling
bukit sehingga makin lama air yang menyisip kedalam tanah, bertemu dengan air
yang di dalam perut bumi. Akibatnya terjadi abrasi yang menjadi penyebab
labilnya struktur tanah yang memang agak berpasir. Lambat laun pinggiran bukit
tidak kuat lagi menahan beban bukit yang diatasnya, sehingga mengakibatkan
pecahnya bukit yang terbawah masuk, jatuh kedalam kubangan mata air dibawah
bukit, sehingga membentuk danau kecil.
Bagi masyarakat
suku Pamona zaman tersebut kejadian tersebut dituturkan sebagai pecahnya gunung
yang membentuk danau tersebut, sehingga dinanai "Danau Poso" Danau
yang baru terbentuk tersebut, kian lama kian membesar, karena sumber mata air
di pegunungan sekelilingnya mengalir kearah danau baru tersebut. Akibatnya
debit air danau dari waktu ke waktu terus naik, sehingga luas permukaannya
menjadi demikian lebar. sesuai dengan sifat air yang selalu mencari dataran
rendah, maka pada ketinggian permukaan tertentu, tebentuklah sebua sungai yang
mengarah ke pantai laut akibat danau tidak mampu lagi menampung debit air.
Karena sungai tersebut berasal dari danau Poso, maka sungai baru tersebut,
dinamai dengan nama yang sama, yakni Poso (sungai Poso). Muara sungai baru yang
terbentuk itu kemudian didiami oleh sejumlah penduduk, karena di sungai baru
tersebut ternyata terdapat banyak ikan. Kumpulan penduduk pemukim baru itu
kemudian menamai kampung tersebut dengan sebutan yang sama, yakni Poso.
Tarian
Dero, atau madero merupakan tarian populer di kalangan Suku Pamona.
Tarian ini diadakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilakukan oleh
orang-orang muda. Tarian melingkar dilakukan dengan saling bergandengan tangan,
sambil berbalas pantun diringi musik ceria. Beberapa daerah di Palu melarang
kegiatan tarian dero atau madero karena sering menjadi pemicu perkelahian antar
pemuda yang saling berebut perhatian gadis-gadis.
Mengikuti
kebiasaan orang Eropa yang mempunyai nama keluarga atau marga
atau fam, maka orang Pamona juga mempunyai marga-marga
seperti berikut : Banumbu, Bali'e, Baloga, Betalino, Beto, Botilangi,
Bulinde, Bungkundapu, Bungu, Buntinge, Gilirante, Gimbaro, Gugu, Gundo,
Kampindo, Kalembiro, Kalengke, Karebungu, Kayori, Kayupa, Kogege, Kolombuto,
Kuko, Langgari, Lambangasi, Labiro, Liante, Lu'o, Lumaya, Manganti, Meringgi,
Mossepe, Mowose, Nyolo-nyolo, Nggau, Nggo'u, Nua, Nyaua, Pakuli, Palaburu,
Parimo, Paroda, Pasunu, Patara, Pebadja, Penina, Penyami, Pesudo, Poa, Pobonde,
Podala, Purasongka, Pusuloka, Rampalino, Rampalodji, Rantelangi, Rare'a,
Ruagadi, Rubo, Ruutana, Sancu'u, Sawiri, Sigilipu, So'e, Sowolino, Tabanci,
Tadalangingi, Talasa, Tarante, Tasiabe, Tawuku, Tawurisi, Tekora, Tepara,
Tiladuru, Tobondo, Tolimba, Toumbo, Ule, Ululai, Warara, Werokila nce'i to
mori, Wuri,Wutabisu, dll.
Jika mengunjungi
Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), terdapat suatu Gua Pamona. Gua
tersebut terletak persis di sebelah Danau Poso, kawasan yang sudah terkenal
keindahannya sehingga telah menjadi salah satu tujuan wisata mistis dan unik
karena letak sebagian Gua tersebut berada di bawah Danau Poso. Gua yang namanya
sama dengan suku asli orang Poso tersebut terletak di Desa Sangele, Kecamatan
Pamona Utara, 56 kilometer dari Kota Poso. Mulut Gua Pamona menghadap ke
selatan dengan lebar dua meter.
Dulunya, gua
tersebut memiliki panjang lebih dari 200 meter. Karena perubahan kondisi alam
dan adanya beberapa reruntuhan, akhirnya panjangnya hanya sebatas itu. Letak
gua yang dalam menyebabkan oksigen di dalamnya relatif sedikit. Hal itu membuat
pengunjung merasa gerah dan cepat lelah saat menyusuri jalan dalam gua.
Pencahayaan di gua tersebut juga sangat minim, hanya mengandalkan cahaya
matahari yang berasal dari celah-celah bebatuan di atasnya. Suasana di dalam
menjadi remang-remang dan menambah miris orang yang percaya pada cerita mistis.
Menurut cerita
masyarakat setempat, selama ratusan tahun silam gua tersebut berfungsi sebagai
tempat untuk menyimpan jenazah raja atau kaum bangsawan suku Pamona dan
keluarganya. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kerangka manusia dan
keranda yang masih ada di dalamnya. Banyak warga setempat meyakini gua tersebut
merupakan salah satu tempat asal-usul leluhur mereka. Sampai kini gua tersebut
banyak dikunjungi masyarakat dari luar Poso, terutama pada akhir pekan atau
hari libur. Setelah puas menyusuri gua tersebut, biasanya pengunjung menyempatkan
untuk mandi di Danau Poso yang airnya selalu jernih.
Dalam gua
tersebut juga terdapat delapan kamar atau ruang yang sangat gelap dan lembap.
Ruang tersebut dahulunya berfungsi menyimpan jenazah suku Pamona yang
disesuaikan dengan status sosialnya. Jenazah yang disemayamkan tersebut
biasanya disertai perangkat kubur, seperti pakaian atau barang-barang berharga
milik jenazah semasa hidupnya.
Namun seiring
banyaknya pengunjung, tidak jarang ada yang usil dengan mengambil kerangka atau
bagian goa yang sangat tinggi nilai sejarahnya itu. Pemerintah setempat juga
telah menetapkan gua tersebut sebagai situs sejarah yang dilindungi, selain
beberapa gua lain, seperti Gua Tangkaboba dan Gua Latea. Kepala Bagian Infokom
Kabupaten Poso Amir Kiat mengatakan keberadaan gua tersebut menjadi salah satu
paket kunjungan wisata yang menarik bersama Danau Poso. "Setelah
mengunjungi Danau Poso, kalau tidak mengunjungi Gua Pamona rasanya kurang
lengkap," ujarnya. Di sekitar lokasi wisata tersebut juga terdapat
penginapan untuk memanjakan wisatawan. Selain itu, terdapat beberapa rumah
makan yang menyediakan menu khas Tentena, seperti ikan sogili atau sidat.
Sogili merupakan ikan endemik di Danau Poso yang bentuknya mirip ikan lele.
Sogili dapat dimasak dengan berbagai cara seperti direbus, dibakar atau
digoreng. Tapi masyarakat setempat biasanya lebih menyukai sogili bakar.
Rasanya sangat gurih dan dagingnya kesat.
4.
Suku
Banggai
Suku Banggai adalah Suku di Kabupaten Banggai Kepulauan
- Sulawesi Tengah. Kabupaten Banggai Kepulauan terbentuk dari hasil pemekaran
berdasarkan UU No. 51 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten
Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan serta diresmikan tanggal 3 November
1999. Suku Banggai dengan bahasa Banggai adalah suku asli yang mendiami
Kepulauan Banggai. Di Kepulaun Banggai ini memang cuma satu suku asli yaitu
Suku Banggai. Sedangkan yang tinggal di Kab Banggai Kepulauan ini banyak
sukunya, dari berbagai suku di indonesia.
Mungkin tak ada yang mengira bahwa gugusan kepulauan dengan pulau
terbesarnya Peling, menyimpan sejuta catatan yang mengagumkan. Suku Banggai,
merupakan suku yang mendiami Kepulauan Banggai, yang sebelumnya bernama
asli Suku Sea-sea, yang awalnya dari kerajaan-kerajaan kecil, kemudian
utuh yang kini bernama Kerajaan Banggai, kerajaan ini mempunyai kekuasaan yang
cukup luas, bahkan hampir setengah dari wilayah Sulawesi Tengah, namun hingga
kini setelah berdirinya Pemerintahan RI, cakupan wilayah Kerajaan Banggai hanya
pada Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai, dengan menaungi tiga
suku, yaitu Suku Banggai, Saluan, dan Balantak. yang meninggalkan bukti
sejarah antara lain Keraton Kerajaan di kota Banggai. walaupun satu
kerajaan, namun ketiga dari suku ini mempunyai Adat Istiadat yang sangat
berbeda.
Kerajaan yang berada di sebelah timur Pulau Sulawesi, atau juga di
sebelah Barat Laut dari Laut Banda, Suku Banggai yang merupakan suku
terbesarnya, yang juga mendiami Kepulauan Banggai, seperti suku-suku besar yang
lainnya, adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam suku Banggai sangatlah
banyak dan beragam, mulai dari penggunaan bahasa tradisional (Banggai) sebagai
bahasa sehari-hari hingga adat pernikahanpun tak lepas dari tradisi yang
berkembang. Walau kini tradisi banyak tradisi yang punah dan mulai di gali
kembali, namun cukup banyak tradisi yang masih melekat dalam masyarakat,
terutama kesenian tradisionalnya.
Seba Adat atau dalam bahasa indonesianya adalah musyawarah adat, merupakan wadah
untuk program adat yang bertujuan di antaranya untuk mempertahankan adat
istiadat yang ada pada masing-masing suku di kerajaan Banggai, karena memang
Seba Adat di adakan oleh Perangkat Adat atau Kerajaan Banggai oleh Raja, atau Tomundo
dalam bahasa Banggai, yang di hadiri oleh Basalo, yaitu sejenis kepala
adat dalam cakupan kedaerahan kecamatan atau desa yang dari suku banggai,
sedangkan dari Saluan dan Balantak bernama Bosano dan Bosanyo. Selain
Basalo, masih banyak perangkat adat lainnya yang membantu kegiatan Basalo,
misalnya Kapitan. Dalam perangkat kerajaan juga ada yang di sebut Mian
Tuu, dan masih banyak lagi jabatan-jabatan adat yang membantu dalam kepengurusan
kerajaan Banggai, yang mana kegiatan Seba ini di adakan setiap tahunnya untuk
Evaluasi hasil kerja atau P Kembali pada tradisi Banggai, ada
sangat banyak dari tradisi yang melekat dalam masyarakat yang memang sangat
menarik, musik yang di antaranya; batongan, kanjar, libul dan lain
sebagainya, juga ada tarian, yang termasuk Onsulen, Balatindak, Ridan
dll, juga cerita rakyat atau legenda yang sangat banyak yang di kenal dengan
nama Banunut, lagu atau puisi yaitu Baode, Paupe dan masih banyak
lagi kesenian tradisional lainnya, ada beberapa tradisi ini yang masih dipegang
secara menyeluruh dari suku Banggai, misalnya pada saat perayaan Maulid Nabi
Besar Muhammad saw, para masyarakat suku Banggai akan membuat sejenis kue yang
di beri nama Kala-kalas, ada juga yang menyebutnya kaakaras. Kue
ini tebuat dari tepung beras yang bentuk jadinya di goreng, dan kue ini sangat
unik sekali, bahkan hanya akan di jumpai pada saat perayaan Maulid Nabi saw
saja. Selain itu, masih banyak tradisi lainnya, Upacara Adat misalnya, upacara
pelantikan Tomundo, upacara pelantikan Basalo, dan lain sebagainya.
Tradisi-tradisi dalam masyarakat pun bahkan beragam, masyarakat yang
tinggal di tepian pantai dengan masyarakat yang tinggal di pedalaman akan
memberikan suatu gambaran yang jauh berbeda, kesenian, upacara adat, bahkan
kehidupan adat sehari-haripun tidak banyak menunjukan kesamaan, contohnya, ada
sebuah upacara adat atau perayaan ketika para nelayan telah menangkap ikan,
yang cara menangkapnya di kenal dengan nama sero, sedangkan di pedalaman akan
ada penanaman sejenis Umbi yang memang satu-satunya di dunia ini hanya terdapat
dan berasal dari Banggai, sehingga di kenal dengan nama Ubi Banggai, ini
akan memberikan suatu cerita tersendiri yang sangat menakjubkan, yang di mulai
dari proses hingga selesai, akan banyak sisi-sisi kehidupan tradisi yang
memberikan gaya artistik yang sangat berharga.rogram dan perencanaan yang baru
dalam setiap gerak masyarakat adat Banggai. Berburu merupakan salah satu
kegiatan yang dari zaman pra kerajaan Banggai, namun hingga kini, berburu atau
yang dalam bahasa Banggai dikenal dengan nama Baasu itu masih sering di jumpai
di daerah pedalaman, terutama di kawasan Pulau Peling.
Masih sangat banyak tradisi yang melekat pada masyarakat adat maupun yang
sudah mulai memudar seiring pekembangan zaman, namun di balik itu semua, masih
menyimpan sejuta makna dan sejuta misteri untuk di gali dan di kembangkan. yang
pasti, marilah kita sama-sama menjaga adat dan istiadat kita, karena inilah
harga diri suku dan kerajaan kita.
5.
Suku Tomini
Suku
Tomini berdiam di sebelah barat laut Pulau Sulawesi. Mereka menggunakan bahasa
Tomini, namun berbagai sub-suku Tomini ini memakai bahasa yang berbeda-beda,
akibat interaksi dengan berbagai suku, melalui perdagangan.
Sosial budaya
Pada jaman
dahulu, Tomini diperintah oleh Kesultanan, yang berarti setiap suku dikepalai
oleh seorang pemimpin secara turun temurun beserta dengan para pembantunya.
Pada waktu itu ada 4 kelas dalam masyarakat : kelompok raja, kaum bangsawan,
orang awam, dan budak. Suku Tomini di pesisir bercocok tanam menghasilkan
cengkeh dan kopra. Beberapa di antara mereka mencari nafkah sebagai pedagang,
penebangan kayu atau pelaut. Orang Tomini di pegunungan bertanam padi dan
jagung. Mereka juga mengumpulkan rotan untuk dijual di daerah pesisir.
Perkampungan Tomini terdiri dari rumah-rumah kecil yang dibangun di atas
tiang-tiang (rumah panggung), yang berlokasi di sepanjang garis pantai pulau
ini.
Pola perkawinan
mereka mengikuti pola perkawinan Islam. Seorang perantara merundingkan mas
kawin untuk mempelai wanita yang tergantung dari status sosial gadis tersebut.
Pernikahan antar sepupu bida diterima; dan poligami diijinkan walau tidak
banyak dilakukan. Setelah menikah, pasangan pengantin biasanya tinggal dengan
keluarga besar mereka, sampai anak pertama lahir. Orang Tomini penganut Islam
Sunni, suatu aliran agama Islam yang berpegang pada tradisi ortodoks. Di
daerah-daerah pedalaman di pegunungan, ada juga kelompok-kelompok orang Tomini
yang mempraktekkan animisme. Mereka mempercayai bahwa alam dan benda-benda mati
itu mempunyai roh. Orang Tomini yang menganut animisme ini dikenal sebagai suku
terasing.
6. Suku Bugis
Adat istiadat
suku bugis adalah salah satu suku yang dikenal piawai mengarungi lautan sangat
menentang asimilasi budaya luar. Dalam budaya suku bugis terdapat tradisi
ade’atau adat dan konsep spiritual. Konsep ade ini menjadi tema utama dalam
catatan-catatan hokum. Masyarakat tradisional suku bugis mengacu kepada konsep
pang’ade reng atau adat istiadat merupakan norma yang saling terkait satu sama
lain. Kehidupan sehari-hari masyarakat bugis sangat memprhatikan adat istiadat,
misalnya memperhatikan hubungan harmonis antar sesame manusia. Hal-hal ersebut
dapat diperhatikan dalam kehidipan sehari-hari seperti mengucapkan tabe yang
artinya permisi. Ucapan ini dilakukan dengan posisi badan, ucapan tabe
dilakukan saat lewat didepan sekelompok orang-orang yang lebih tua. Kemudian
mengucapakan ‘iye’ atau jawaban iya yang halus dan ramah. Selain itu diajarkan
menghormati ornag yang lebih tua dan menyayangi yang muda.
7. Suku Bali
Selain penduduk
asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali.
Kebudayaan Bali mendapat pengaruh kuat kebudayaan India.
Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling luas pemakaiannya di Bali dan sebagaimana
penduduk Indonesia lainnya, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Meskipun terdapat beberapa
dialek dalam bahasa Bali, umumnya masyarakat Bali menggunakan sebentuk bahasa
Bali pergaulan sebagai pilihan dalam berkomunikasi. Secara tradisi, penggunaan
berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan sistem catur warna dalam agama Hindu Dharma
dan keanggotan klan (istilah Bali: soroh, gotra); meskipun
pelaksanaan tradisi tersebut cenderung berkurang.
Musik tradisional Bali memiliki kesamaan dengan musik
tradisional di banyak daerah lainnya di Indonesia, misalnya dalam penggunaan gamelan dan berbagai alat musik tabuh lainnya. Meskipun demikian, terdapat kekhasan dalam
teknik memainkan dan gubahannya, misalnya dalam bentuk kecak, yaitu sebentuk nyanyian yang konon menirukan suara
kera. Demikian pula beragam gamelan yang dimainkan pun memiliki keunikan,
misalnya gamelan jegog, gamelan gong gede, gamelan gambang,
gamelan selunding dan gamelan Semar Pegulingan. Ada pula musik Angklung dimainkan untuk upacara ngaben serta musik Bebonangan dimainkan dalam berbagai
upacara lainnya.
Terdapat bentuk modern dari musik tradisional Bali,
misalnya Gamelan Gong Kebyar yang merupakan musik tarian yang
dikembangkan pada masa penjajahan Belanda serta Joged Bumbung yang mulai populer di Bali sejak era tahun 1950-an.
Umumnya musik Bali merupakan kombinasi dari berbagai alat musik perkusi metal (metalofon), gong dan perkusi kayu (xilofon). Karena hubungan sosial, politik dan budaya, musik
tradisional Bali atau permainan gamelan gaya Bali memberikan pengaruh atau
saling memengaruhi daerah budaya di sekitarnya.
Seni
tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok, yaitu wali
atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan
untuk upacara dan juga untuk pengunjung dan balih-balihan atau seni ta
tarian Bali tersebut; antara lain yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk,
Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara
lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan dan Wayang Wong,
sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja,
Prembon dan Joged serta berbagai koreografi tari modern lainnya.
Pakaian daerah
Pakaian daerah Bali sesungguhnya sangat bervariasi,
meskipun secara selintas kelihatannya sama. Masing-masing daerah di Bali
mempunyai ciri khas simbolik dan ornamen, berdasarkan kegiatan/upacara, jenis
kelamin dan umur penggunanya. Status sosial dan ekonomi seseorang dapat
diketahui berdasarkan corak busana dan ornamen perhiasan yang dipakainya.
o Pria
Anak-anak Ubud mengenakan udeng, kemeja putih dan kain.
Busana tradisional pria umumnya terdiri dari:
·
Udeng
(ikat kepala)
·
Kain
kampuh
·
Umpal
(selendang pengikat)
·
Kain
wastra (kemben)
·
Sabuk
·
Keris
·
Beragam
ornamen perhiasan
·
Sering
pula dikenakan baju kemeja, jas dan alas kaki sebagai pelengkap.
o
Wanita
Para
penari cilik mengenakan gelung, songket dan kain prada. Busana tradisional
wanita umumnya terdiri dari:
·
Gelung
(sanggul)
·
Sesenteng
(kemben songket)
·
Kain
wastra
·
Sabuk
prada (stagen), membelit pinggul dan dada
·
Selendang
songket bahu ke bawah
·
Kain
tapih atau sinjang, di sebelah dalam
·
Beragam
ornamen perhiasan
·
Sering
pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.
Menurut filosofi masyarakat
Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang
harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan. Untuk itu
pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa
disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah.
Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan
lingkungannya.Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali
selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam
hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol
dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis fauna juga
berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.
Selain itu suku bali memiliki beragam upacara-upacara keagamaan. Salah satunya
adalah ngaben. Ngaben adalah penyucian atma / roh yang sudah meninggal yang
dipercayai agar sang roh dapat menyatu dengan Brahman/tuhan.
2.5
Masyarakat Adat Di Sulawesi Tengah
Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan
asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang
memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang
diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelola keberlangsungan
kehidupan masyarakatnya. Di Indonesia ada 1163 komunitas Masyarakat Adat
yang tercatat sebagai anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada
Rapat Kerja AMAN tahun 2009 di Sukabumi dan di Sulawesi Tengah hingga tahun
2011 ini, ada 201 komunitas Masyarakat Adat yang masuk anggota AMAN Sulawesi
Tengah yang tersebar di 11 Kabupaten Kota yang menempati daerah pegunungan dan
pesisir laut dengan beragam adat istiadat dan pengetahuan lokal untuk mengelola
sumber daya hutan yang ada di wilayah adat mereka.
Hingga saat ini, Masyarakat
Adat masih menjadi bagian dari masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai
dampak negatif pembangunan. Kondisi ini merupakan kelanjutan dari sejarah
panjang diskriminasi dan marjinalisasi yang sudah berlangsung sebelum masa
kolonial.
Oleh karena itu, perjuangan Masyarakat Adat di
Indonesia untuk memperbaiki kehidupan sendiri maupun dengan dukungan dari
pihak-pihak lain yang peduli dengan kemajuan hak-hak asasi masyarakat adat terus
digalakkan. Cukup banyak hasil positif dari perjuangan ini di berbagai daerah
di Indonesia, tetapi masih banyak lagi daerah yang belum menunjukan perubahan
kearah yang lebih baik. Demikian juga perubahan di tingkat nasional, beberapa
kebijakan sektoral mulai berubah dengan mengakui
dan menyediakan perlindungan hukum terhadap hak-hak Masyarakat Adat.
Masyarakat Adat Dan Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Tengah
Di Sulawesi Tengah, secara umum Masyarakat Adat
memandang hutan sangat erat hubungannya dengan kehidupan mereka yaitu;
1) Secara sosial-ekologi, disamping sebagai penopang
siklus air dan karbon dunia serta memiliki kemampuan mengatur iklim planet
bumi, hutan merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat;
2) Secara sosial-ekonomi; keberlangsungan hidup
Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah sangat bergantung dari Sumber Daya Hutan
untuk dikelola secara arif dan berkelanjutan;
3) Secara sosial-budaya, hutan sudah menjadi bagian dari
kehidupan Masyarakat Adat, untuk digunakan sebagai tempat ritual adat;
4) Secara ilmu dan teknologi, masyarakat adat memiliki
kearifan lokal dalam mengelola Sumber Daya Hutan yang sarat dengan etika dan
konservasi lokal yang berlaku dikomunitasnya.
Dalam praktek pengelolaan
hutan, Masyarakat Adat mempunyai kearifan lokal, menerapkan sanksi adat dan
kelembagaan lokal yang dipraktekkan dalam pengelolaan hutan secara arif dan
berkelanjutan.
Di komunitas Masyarakat Adat
Sulawesi Tengah, praktek pengelolaan hutan yang diatur oleh kelembagaan adat
masih terus dilakukan dan menjadi tatanan sosial masyarakat adat dan sangat
dipatuhi oleh masyarakatnya maupun orang luar yang masuk dikomunitas Masyarakat
Adat.
Contoh konkrit pengelolaan hutan yang dilakukan berdasarkan
zonasi adat (tata kelola), berdasarkan kearifan lokal, sanksi adat yangdiatur
oleh kelembagaan adat adalah di Masyarakat Adat Ngata Toro, Marena, Bada,
Behoa, Katu, Taa Wana untuk Masyarakat Adat yang tinggal di daerah pegunungan
dan Masyarakat Adat yang tinggal diwilayah pesisir.
Perspektif Sulawesi Tengah
Komunitas Masyarakat Adat di wilayah
Sulawesi Tengah secara riil masih ada, seperti masyarakat Tau Ta’a di kabupaten Tojo Una-Una, kabupaten Banggai dan kabupaten
Morowali melalui kekerabatan herois dibawah pimpinan
seseorang telenga’. Begitu juga masyarakat Kulawi, Sigi dan Pipikoro sub
etnik yang menggunakan bahasa ‘Ija, Moma dan Oma. Di kabupaten Sigi juga masih kuat intensitas norma hukum
adat. Tercatat dalam sejarah seperti yang tertulis dalam “van
Poso naar Parigi, Sigi en Lindoe” hasil investigasi dan renungan N. Adrian dan
Albert C. kruyt (1898) menyebutkan, bahwa orang-orang sigi itu ramah tamah dan
bijaksana (scherpzinning), terutama ketika berada di Bora (Ibukota Kerajaan
Sigi). Orang-orang Sigi belum tersentuh oleh tabiat pedagang. Meskipun
peradaban yang lebih maju lainnya sudah ada, namun mereka masih kuat memegang
teguh adat istiadat mereka, seperti
“Baliya” dalam rangka upacara penyembuhan orang sakit (wurake).
Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah membutuhkan pengakuan perlindungan
dalam bentuk peraturan daerah. Akan tetapi, bukan
berarti setiap perda yang ada di Sulawesi Tengah yang mengatur tentang pengakuan
dan perlindungan masyarakat adat itu mengatur secara rinci
semua norma-norma hukum adat. Perda dimaksud hanya bermateri muatan (hetonderwerp)
pengakuan dan perlindungannya saja, khususnya meregulasi hubungan masayarakat
adat dengan hutan, air dan lingkungan hidup, dengan tetap memperhatikan norma-norma yang didelegasikan (delegatie
van wetgevings). Sedangkan yang bersangkut paut dengan norma-norma teknis
diserahkan pada masyarakat hukum adat itu sendiri yang mengapresiasinya melalui
lembaga adat. Misalnya pelanggaran-pelanggaran norma adat yang dapat di Givu,
dll. Semuanya harus di kembalikan pada konsepsiemic, yaitu mereka sendiri
mempersiapkan hak dan tanggung jawab menurut hukum adat masing-masing komunitas.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 perihal kehutanan ditegaskan
bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaanya berhak: pertama, melakukan pemugutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan. Kedua, melakukan
kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak
bertetangan dengan undang-undang. Ketiga, mendapatkan pemberdayaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraannya.
Dari ketiga hak tersebut, harus di kukuhkan melalui pembentukan perda
tentang hutan adat. Yang ingin di tegaskan di sini adalah perda
tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di wilayah Sulawesi Tengah.
Apabila tidak ada, maka hak-hak (akses) masyarakat tradisional atas sumber daya alam menjadi hilang, padahal SDA
secara subtansial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat
yang tradisional. Hal-hal tersebut
merupakan refleksi dari gulatan kearifan tradisional dengan keserakahan modern,
yang selama ini masih dalam episode termarginalkan
dan masih menjadi fragment kehidupan tradisional masyarakat Indonesia yang pada
umumnya tidak terlihat, namun dapat di rasakan. Kehidupan masyarakat modern
yang di atur oleh hukum modern yang di dasari oleh
pemikiran-pemikiran rasional, logis dan sekaligus dapat di pelintir merupakan
benteng yang kokoh dalam melegalisir dan memberikan
legitimasi atas keserakahan-keserakahan berikutnya yang lebih mutakhir.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun yang
menjadi kesimpulan dari makalah ini, adalah sebagai berikut :
Beragamnya kebudayaan yang ada di
Indonesia khususnya di provinsi Sulawesi Tengah memperlihatkan bahwa betapa
kayanya Negara ini. Dengan
berbagai perbedaan yang ada, namun tidak membuat perpecahan antar masyarakat.
Penduduk asli di provinsi Sulawesi
Tengah terdiri atas 19 kelompok etnis atau suku, yaitu :
Etnis
Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan
kota Palu
Etnis
Kulawi
berdiam di kabupaten Donggala
Etnis
Lore
berdiam di kabupaten Poso
Etnis
Pamona berdiam di kabupaten Poso
Etnis
Mori
berdiam di kabupaten Morowali
Etnis
Bungku
berdiam di kabupaten Morowali
Etnis
Saluan atau Loinang
berdiam di kabupaten Banggai
Etnis
Balantak
berdiam di kabupaten Banggai
Etnis
Mamasa berdiam di kabupaten Banggai
Etnis
Taa
berdiam di kabupaten Banggai
Etnis
Bare'e
berdiam di kabupaten
Touna
Etnis
Banggai berdiam di Banggai
Kepulauan
Etnis
Buol
mendiami kabupaten Buol
Etnis
Tolitoli
berdiam di kabupaten Tolitoli
Etnis
Tomini
mendiami kabupaten
Parigi Moutong
Etnis
Dampal
berdiam di Dampal,
kabupaten Tolitoli
Etnis
Dondo
berdiam di Dondo,
kabupaten Tolitoli
Etnis
Pendau
berdiam di kabupaten Tolitoli
Etnis
Dampelas
berdiam di kabupaten Donggala
Di Sulawesi
Tengah, secara umum Masyarakat Adat memandang hutan sangat erat hubungannya
dengan kehidupan mereka, karena secara sosial-budaya hutan
sudah menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat, digunakan sebagai tempat
ritual adat.
Saran
Dengan semakin berkembangnya zaman,
serta pengaruh globalisasi dan juga pengaruh budaya-budaya asing.
Kebudayaan-kebudayaan yang ada semakin tergeser dan hampir punah. Untuk
mencegah punahnya kebudayaan tersebut perlu dilakukan berbagai tindakan.
Berbagai kebudayaan yang beragam yang ada di provinsi Sulawesi Tengah
seharusnya tetap dijaga dan dilestarikan. Para generasi penerus harus tetap
mempertahankan kebudayaan-kebudayaan yang telah ada. Pemerintah setempat juga
harus terlibat dalam proses pelestarian kebudayaan dengan melakukan upaya-upaya
berupa pembentukan lembaga-lembaga, sosialisasi dan lain-lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonym “Sosial
Budaya Sulawesi Tengah” dalam http://www.google.co.id/sosial-budaya-Sulawesi-Tengah/
diakses pada tanggal 07 Oktober 2011
Anonym “Dampak
Perubahan Sosial Budaya” dalam http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1992756-dampak-perubahan-sosial-budaya/#ixzz1bCRgQoGU
diakses pada tanggal 10 Oktober 2011
Anonym “Peluang
Dan Ancaman Implementasi Skema” dalam www.amansulteng.blogspot.com/2011/9/peluang-dan-ancaman-implementasi-skema.html
diakses pada tanggal 01 November 2011
Anonym “---------------------------“dalam
http://posobersatu.multiply.com/ diakses pada tanggal 10 Juni 2011
Anonym “Perpres
No. 6 Tahun 2011”. 17 Februari 2011 dalam http://www.djpk.depkeu.go.id/regulation/27/tahun/2011/bulan/02/tanggal/17/id/590/
diakses pada tanggal 23 Mei 2011.
Harrah's Hotel and Casino - Kambi Valley - JTM Hub
BalasHapusHarrah's Cherokee 논산 출장마사지 Casino Resort in Cherokee, 의왕 출장안마 NC is operated by Harrah's Cherokee Resort Casino LLC and 파주 출장샵 operated by the Eastern Band 밀양 출장샵 of Cherokee 벳 인포 Indians.