BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kependudukan
merupakan salah satu aspek yang memerlukan perhatian dalam proses pembangunan,
seperti jumlah komposisi dan distribusi
penduduk. Jumlah penduduk yang besar dapat merupakan modal pembangunan jika
kualitasnya baik, sedangkan jika kualitasnya kurang baik dapat berakibat pada
beban pembangunan. Demikain pula jika komposisi dan distribusinya tidak
seimbang dan merata.
Propinsi Daerah
Tingkat I Sulawesi Tengah, terletak antara 2°
lintang utara - 3° lintang selatan dan 119° - 124° bujur timur, merupakan
wilayah daratan yang berbatasan di sebelah utara dengan Propinsi Sulawesi
Utara, di sebelah timur dengan Laut Maluku, di sebelah selatan dengan Propinsi
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dan di sebelah barat dengan Selat
Makassar.
Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah
mencakup areal seluas 63.689 kilometer persegi. Pada tahun 1990, tata guna
lahan di wilayah Propinsi Sulawesi Tengah meliputi areal hutan seluas 39.806
kilometer persegi atau 62,5 persen, areal semak belukar seluas 3.949 kilometer
persegi atau 6,2 persen, padang rumput seluas
2.102 kilometer persegi atau 3,3 persen, areal ladang seluas 1.465
kilometer persegi atau 2,3 persen, dataran tinggi seluas 828 kilometer persegi
atau 1,3 persen, areal sawah seluas 1.465 kilo-meter persegi atau 2,3 persen,
areal perkebunan seluas 1.529 kilometer persegi atau 2,4 persen, areal perairan
darat seluas 382 kilometer persegi atau 0,6 persen, daerah tandus seluas 64
kilometer persegi atau 0,1 persen, areal pemukiman seluas 382 kilometer
persegi atau 0,6 persen, dan budi daya lainnya 11.719 kilometer persegi atau
18,4 persen dari seluruh luas wilayah.
Perkembangan kependudukan di Propinsi
Sulawesi Tengah selama PJP I menunjukkan makin menurunnya laju pertumbuhan penduduk dari 3,86 persen dalam periode 1971-1980
menjadi 2,87 persen dalam periode 1980-1990. Dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk di kawasan timur Indonesia
dan di tingkat nasional yang masing-masing sebesar 2,4 persen dan 1,97
persen per tahun dalam periode 1980-1990, laju pertumbuhan penduduk propinsi
ini termasuk tinggi.
Lahan di Propinsi Sulawesi Tengah
sebagian besar telah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, terutama
perkebunan, holtikultura, pertanian pangan dan kehutanan. Selain itu, wilayah ini masih memiliki beberapa sumber daya alam lain
yang memiliki potensi untuk
dikembangkan, antara lain pertambangan, kehutanan, perikanan darat dan
perikanan laut, serta perindustrian.
Pada tahun 1990 penduduk usia kerja
(10 tahun ke atas) di propinsi ini berjumlah 1.295.041 orang (76,00 persen).
Dari jumlah tersebut yang masuk ke
dalam angkatan kerja sebanyak 750.482 orang
dan angkatan kerja yang bekerja berjumlah 733.336 orang. Dari seluruh
angkatan kerja yang bekerja tersebut, seba- gian besar terserap di sektor
pertanian (68,4 persen). Sisanya terserap di berbagai sektor lain, yaitu sektor
industri (8,9 persen), dan jasa (22,7 persen).
Propinsi Sulawesi Tengah memiliki
kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat-istiadat, tradisi,
kesenian, dan bahasa. Masyarakat Sulawesi Tengah terdiri atas berbagai suku,
antara lain suku Buol, Toli Toli, Tomini, Banggai, Kaili, Mori, dan Pamona yang masing-masing memiliki kebudayaan dan
adat istiadatnya.. Penduduk propinsi ini
sebagian besar beragama Islam (76,6 persen), selebihnya beragama Kristen
Protestan (20,5 persen), Hindu (2,7 persen), dan lainnya (0,2 persen).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Sulawesi Tengah
Wilayah provinsi Sulawesi Tengah sebelum
jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda merupakan sebuah Pemerintahan
Kerajaan yang terdiri atas 15 kerajaan di bawah kepemimpinan para raja yang
selanjutnya dalam sejarah Sulawesi Tengah dikenal dengan julukan Tujuh Kerajaan
di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat.
Semenjak tahun 1905, wilayah Sulawesi
Tengah seluruhnya jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda, dari Tujuh
Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat, kemudian oleh Pemerintah
Hindia Belanda dijadikan Landschap-landschap atau Pusat-pusat Pemerintahan
Hindia Belanda yang meliputi, antara lain:
Poso
Lage di Poso
Lore
di Wianga
Tojo
di Ampana
Pulau
Una-una di Una-una
Bungku
di Bungku
Mori
di Kolonodale
Banggai
di Luwuk
Parigi
di Parigi
Moutong
di Tinombo
Tawaeli
di Tawaeli
Banawa
di Donggala
Palu
di Palu
Sigi/Dolo
di Biromaru
Kulawi
di Kulawi
Tolitoli
di Tolitoli
Dalam perkembangannya, ketika
Pemerintahan Hindia Belanda jatuh dan sudah tidak berkuasa lagi di Sulawesi
Tengah serta seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat kemudian membagi wilayah
Sulawesi Tengah menjadi 3 (tiga) bagian, yakni: Sulawesi Tengah bagian Barat,
meliputi wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli.
Pembagian wilayah ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959,
tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi.
Sulawesi Tengah bagian Tengah (Teluk Tomini),
masuk Wilayah Karesidenan Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1919, seluruh
Wilayah Sulawesi Tengah masuk Wilayah Karesidenen Sulawesi Utara di Manado.
Pada tahun 1940, Sulawesi Tengah dibagi menjadi 2 Afdeeling yaitu Afdeeling
Donggala yang meliputi Tujuh Onder Afdeeling dan Lima Belas Swapraja.
Sulawesi Tengah bagian Timur (Teluk Tolo)
masuk Wilayah Karesedenan Sulawesi Timur Bau-bau. Tahun 1964 dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964 terbentuklah Daerah
Tingkat I Sulawesi Tengah yang meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten
Donggala, Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli.
Selanjutnya Pemerintah Pusat menetapkan Propinsi Sulawesi Tengah sebagai
Provinsi yang otonom berdiri sendiri yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor
13 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan
selanjutnya tanggal pembentukan tersebut diperingati sebagai Hari Lahirnya
Provinsi Sulawesi Tengah.
Dengan perkembangan Sistem Pemerintahan
dan tutunan Masyarakat dalam era Reformasi yang menginginkan adanya pemekaran
Wilayah menjadi Kabupaten, maka Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan melalui
Undang-undang Nomor 11 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 51
Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Buol, Morowali dan Banggai Kepulauan.
Kemudian melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2002 oleh Pemerintah Pusat terbentuk
lagi 2 Kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi
Moutong dan Kabupaten Tojo Una-Una. Kini berdasarkan pemekaran wilayah
kabupaten, provinsi ini terbagi menjadi 10 daerah, yaitu 9 kabupaten dan 1
kota.
B.
Etnis Di Sulawesi Tengah
Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri
atas 15 kelompok etnis atau suku, yaitu:
Etnis
Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu
Etnis
Kulawi berdiam di kabupaten Donggala
Etnis
Lore berdiam di kabupaten Poso
Etnis
Pamona berdiam di kabupaten Poso
Etnis
Mori berdiam di kabupaten Morowali
Etnis
Bungku berdiam di kabupaten Morowali
Etnis
Saluan atau Loinang berdiam di kabupaten Banggai
Etnis
Balantak berdiam di kabupaten Banggai
Etnis
Mamasa berdiam di kabupaten Banggai
Etnis
Taa berdiam di kabupaten Banggai
Etnis
Bare'e berdiam di kabupaten Touna
Etnis
Banggai berdiam di Banggai Kepulauan
Etnis
Buol mendiami kabupaten Buol
Etnis
Tolitoli berdiam di kabupaten Tolitoli
Etnis
Tomini mendiami kabupaten Parigi Moutong
Etnis
Dampal berdiam di Dampal, kabupaten Tolitoli
Etnis
Dondo berdiam di Dondo, kabupaten Tolitoli
Etnis
Pendau berdiam di kabupaten Tolitoli
Etnis
Dampelas berdiam di kabupaten Donggala
Di samping 13 kelompok etnis, ada
beberapa suku hidup di daerah pegunungan seperti suku Da'a di Donggala, suku
Wana di Morowali, suku Seasea dan Suku Ta' di Banggai dan suku Daya di Buol
Tolitoli. Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang
saling berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya, namun masyarakat
dapat berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional dan bahasa pengantar sehari-hari.
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah
dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur. Suku pendatang yang juga banyak mendiami wilayah Sulawesi
Tengah adalah Bugis, Makasar dan Toraja serta etnis lainnya di Indonesia sejak
awal abad ke 19 dan sudah membaur. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar
2.128.000 jiwa yang mayoritas beragama Islam, lainnya Kristen, Hindu dan Budha.
Tingkat toleransi beragama sangat tinggi dan semangat gotong-royong yang kuat
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Pertanian merupakan sumber utama mata
pencaharian penduduk dengan padi sebagai tanaman utama. Kopi, kelapa, kakao dan
cengkeh merupakan tanaman perdagangan unggulan daerah ini dan hasil hutan
berupa rotan, beberapa macam kayu seperti agatis, ebony dan meranti yang
merupakan andalan Sulawesi Tengah.
Masyarakat yang tinggal di daerah
pedesaan diketuai oleh ketua adat disamping pimpinan pemerintahan seperti
Kepala Desa. Ketua adat menetapkan hukum adat dan denda berupa kerbau bagi yang
melanggar. Umumnya masyarakat yang jujur dan ramah sering mengadakan upacara
untuk menyambut para tamu seperti persembahan ayam putih, beras, telur serta
tuak yang difermentasikan dan disimpan dalam bambu.
C.
Masyarakat
Penduduk Sulawesi Tengah terdiri
atas beberapa kelompok etnik dan masih terbuka bagi transmigran dari Sulawesi
Utara dan Selatan, Jawa dan Bali, yang telah bermukim disana. Di Kabupaten
Donggala terdapat suku Kaili, Tomini dan Kulawi. Masyarakat Poso dibagi menjadi
Lore, Pamona, Mori dan Bungku.
Di Kabupaten Banggai ada suku
Banggai, Saluan dan Balanta, sedangkan di Toli-Toli ada suku Toli-Toli, Dondo
dan Buol. Beberapa kelompok ini selanjutnya dibagi menjadi beberapa sub
kelompok yang memiliki tradisi tersendiri yaitu:
1.
|
Suku
Kaili yang menghuni sebagian besar Kabupaten Donggala, dibagi menjadi 4 sub
kelompok yang memiliki bahasa tersendiri.
|
2.
|
Suku
Kulawi di Donggala dibagi dalam 2 sub kelompok yang satu menggunakan bahasa
Kaili dan yang lainnya dialek Kulawi Lindu.
|
3.
|
Suku
Lore dengan 3 sub kelompok yang hidup di Poso yaitu sub kelompok yang
menggunakan dialek Kaili Tawaili, tinggal di sebelah utara kabupaten tersebut,
dan 2 sub kelompok lainnya yang memiliki bahasa tersendiri yaitu Napu dan
Bada.
|
4.
|
Kelompok
Pamona di Kabupaten Poso berbicara dalam satu bahasa yang hidup disepanjang
pantai utara dan Danau Poso.
|
5.
|
Suku
Mori yang memiliki bahasa tersendiri dan tinggal di Mori Atas dan sekitarnya.
|
6.
|
Kelompok
Bungku yang terletak di pantai sebelah tenggara Kabupaten Poso di Kabupaten
Morowali.
|
7.
|
Kelompok
Saluan di sekitar Luwuk Kab. Banggai.
|
8.
|
Kelompok
Balantak yang mendiami pantai sebelah timur Kabupaten Banggai.
|
9.
|
Suku
Banggai yang terdapat di kepulauan Banggai.
|
10.
|
Kelompok
Buol di pantai bagian utara Toli-Toli.
|
11.
|
Kelompok
Toli-Toli terdapat di beberapa Kecamatan Buol Toli-Toli.
|
12.
|
Suku-suku
terasing.
|
Disamping beberapa kelompok etnik di
atas ada beberapa suku terasing hidup di daerah pegunungan seperti Tolare di
Donggala, Wana di Poso, Sea-Sea di Luwuk, dan Daya di Buol Toli-Toli.
Meskipun mereka memiliki bahasa
tersendiri yang kira-kira 22 bahasa, yang saling berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya merekapun berbicara dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa
Nasional, bahasa pengantar di sekolah dan bahasa resmi.
Dengan posisinya di jantung pulau,
Sulawesi Tengah telah dihuni oleh masyarakat yang pindah dari Bali. Hal ini
telah dipercepat dengan adanya usaha pemerintah untuk memindahkan sebagian
masyarakat Jawa dan Bali ke daerah yang masih jarang penduduknya.
Penduduk daerah ini sekitar 1,5 juta
jiwa yang mayoritas beragama Islam dan lainnya Kristen, Hindu dan Budha.
Pertanian merupakan sumber utama
pencaharian dengan padi sebagai tanaman utama serta masyarakat yang sebagian
besar bermukim di pedesaan, telah meningkatkan laju daya baca di daerah-daerah
terpencil.
Dengan demikian mudah berkomunikasi
dalam bahasa Indonesia baik terhadap anak-anak maupun yang dewasa.
Tingkat toleransi yang tinggi dan
semangat gotong-royong merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Penyelenggaraan Hidup dalam Masyarakat antara lain yaitu :
1. Pemenuhan Kebutuhan
Pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan cara-cara pemenuhan kebutuhan dari zaman kuno. Untuk beberapa daerah
sudah mulai di lakukan penanaman padi. Di Toli-Toli sudah mulai mengenal
penanaman padi, yaitu pada tempat-tempat yang di genangi air. Mereka yang
menanam di rawa belum mengetahui teknik pengaturan air hingga padi di tanamnya
sampai tua tetap tergenang dalam air. Sudah mulai penanaman sagu (yang tadinya
hanya tumbuh sendiri di hutan-hutan) dan kelapa yang sering dijadikan emas
kawin. Mereka sudah mulai memelihara binatang ternak seperti ayam, anjing
(untuk berburu), kerbau dan sapi. Di samping pertanian lading di beberapa
tempat sudah mulai mengerjakan sawah. Juga berburu dan mengambil hasil hutan
seperti rotan, dammar, untuk kebutuhan sendiri-sendiri.
2.
Hubungan Antargolongan
Dalam masyarakat semakin jelas
adanya kelompo-kelompok raja, bangsawan, orng merdeka, budak atau hamba.
Hubungan antara golongan-golongan in di atur oleh adat yang sudah melembaga
dalam masyarakat. Di Toli-Toli antara golongan Unbokilan dan Manuru sudah ada
kerukunan. Tingkatan-tingkatan dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
- Keluarga Bangsawan di sebut golongan 12 Tua.
- Keluarga Bangsawan Muda di sebut golongan 12 Muda, atau 8.
- Keluarga orang biasa di sebu golongan 4.
Perbedaan atau pembagian lapisan masyarakat ini amat menonjol
dan nyata sekali pada waktu adapt upacara-upacara perkawinan, kematian dan
sebagainya.
D.
Budaya Masyarakat Sulawesi Tengah
Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang
diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut aspek kehidupan
dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah
warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk
dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama.
Karena banyak kelompok etnis mendiami
Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut
yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di
pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis
dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi,
juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah
Luwuk dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.
Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat
seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan. Kabupaten Donggala memiliki
tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-pusat penenunan terdapat di
Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda
yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India dan Jepang masih dapat
ditemukan.
Sementara masyarakat pegunungan memiliki
budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski
demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan
Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai
pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari tiang
dan dinding kayu yang beratap ilalang dan hanya memiliki satu ruang besar. Lobo
atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival
atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada
pula lumbung padi yang disebut Gampiri.
Buya atau sarung seperti model Eropa
hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang
emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa.
Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang
panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada
hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di
pinggang melengkapi pakaian adat.
E.
Kepercayaan Masyarakat Sulawesi
Tengah
Penduduk Sulawesi Tengah sebagian besar
memeluk agama Islam. Tercatat 72.36% penduduknya memeluk agama Islam, 24.51%
memeluk agama Kristen dan 3.13% memeluk agama Hindu serta Budha. Islam
disebarkan di Sulawesi Tengah oleh Datuk Karamah, seorang ulama dari Sumatera
Barat dan diteruskan oleh Al Alimul Allamah Al-Habib As Sayyed Idrus bin Salim
Al Djufri, seorang guru pada sekolah Alkhairaat dan juga diusulkan sebagai
Pahlawan nasional. Salah seorang cucunya yang bernama Salim Assegaf Al Jufri
menduduki jabatan sebagai Menteri Sosial saat ini.
Agama Kristen pertama kali disebarkan di
kabupaten Poso dan bagian selatan Donggala oleh missioner Belanda, A.C Cruyt
dan Adrian.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kependudukan
merupakan salah satu aspek yang memerlukan perhatian dalam proses pembangunan,
seperti jumlah komposisi dan distribusi
penduduk. Penduduk yang di dominasi oale kelompok muda usia mengakibatkan
besarnya kebutuhan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Daerah yang proporsi
kaum muda usianya cukup besar berarti proporsi penduduk usia produtifnya
relatif kecil yang secara ekonomis
berpengaruh pada pendapatan yang di hasilkan. Penduduk yang tersebar secara
tidak merata dapat berakibat pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang. Daerah
yang sedikit penduduknya relafif sulit berkembang karena kekurangan sumber daya
manusia sebagai penggerak pembangunan sakaligus sebagai sasaran pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar