Entri Populer

Senin, 16 Januari 2012

Makalah Kependudukan dan Dinamika Masyarakat Sulawesi Tengah

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Kependudukan merupakan salah satu aspek yang memerlukan perhatian dalam proses pembangunan, seperti jumlah komposisi dan  distribusi penduduk. Jumlah penduduk yang besar dapat merupakan modal pembangunan jika kualitasnya baik, sedangkan jika kualitasnya kurang baik dapat berakibat pada beban pembangunan. Demikain pula jika komposisi dan distribusinya tidak seimbang dan merata.
Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah, terletak antara 2° lintang utara - 3° lintang selatan dan 119° - 124° bujur timur, merupakan wilayah daratan yang berbatasan di sebelah utara dengan Propinsi Sulawesi Utara, di sebelah timur dengan Laut Maluku, di sebelah selatan dengan Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dan di sebelah barat dengan Selat Makassar.
Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah mencakup areal seluas 63.689 kilometer persegi. Pada tahun 1990, tata guna lahan di wilayah Propinsi Sulawesi Tengah meliputi areal hutan seluas 39.806 kilometer persegi atau 62,5 persen, areal semak belukar seluas 3.949 kilometer persegi atau 6,2 persen, padang rumput seluas 2.102 kilometer persegi atau 3,3 persen, areal ladang seluas 1.465 kilometer persegi atau 2,3 persen, dataran tinggi seluas 828 kilometer persegi atau 1,3 persen, areal sawah seluas 1.465 kilo-meter persegi atau 2,3 persen, areal perkebunan seluas 1.529 kilometer persegi atau 2,4 persen, areal perairan darat seluas 382 kilometer persegi atau 0,6 persen, daerah tandus seluas 64 kilome­ter persegi atau 0,1 persen, areal pemukiman seluas 382 kilometer persegi atau 0,6 persen, dan budi daya lainnya 11.719 kilometer persegi atau 18,4 persen dari seluruh luas wilayah.
Perkembangan kependudukan di Propinsi Sulawesi Tengah selama PJP I menunjukkan makin menurunnya laju pertumbuhan penduduk dari 3,86 persen dalam periode 1971-1980 menjadi 2,87 persen dalam periode 1980-1990. Dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk di kawasan timur Indonesia dan di tingkat nasional yang masing-masing sebesar 2,4 persen dan 1,97 persen per tahun dalam periode 1980-1990, laju pertumbuhan penduduk propinsi ini termasuk tinggi.

Lahan di Propinsi Sulawesi Tengah sebagian besar telah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, terutama perkebunan, holtikultura, pertanian pangan dan kehutanan. Selain itu, wilayah ini masih memiliki beberapa sumber daya alam lain yang memiliki potensi untuk dikembangkan, antara lain pertambangan, kehutanan, perikanan darat dan perikanan laut, serta perindustrian.
Pada tahun 1990 penduduk usia kerja (10 tahun ke atas) di propinsi ini berjumlah 1.295.041 orang (76,00 persen). Dari        jumlah tersebut yang masuk ke dalam angkatan kerja sebanyak 750.482 orang dan angkatan kerja yang bekerja berjumlah 733.336 orang. Dari seluruh angkatan kerja yang bekerja tersebut, seba­-           gian besar terserap di sektor pertanian (68,4 persen). Sisanya terserap di berbagai sektor lain, yaitu sektor industri (8,9 persen), dan jasa (22,7 persen).

Propinsi Sulawesi Tengah memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat-istiadat, tradisi, kesenian, dan bahasa. Masyarakat Sulawesi Tengah terdiri atas berbagai suku, antara lain suku Buol, Toli Toli, Tomini, Banggai, Kaili, Mori, dan Pamona yang masing-masing memiliki kebudayaan dan adat istiadatnya.. Penduduk propinsi ini sebagian besar beragama Islam (76,6 persen), selebihnya beragama Kristen Protestan (20,5 persen), Hindu (2,7 persen), dan lainnya (0,2 persen).



BAB II
PEMBAHASAN

A.           Sejarah Sulawesi Tengah
Wilayah provinsi Sulawesi Tengah sebelum jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda merupakan sebuah Pemerintahan Kerajaan yang terdiri atas 15 kerajaan di bawah kepemimpinan para raja yang selanjutnya dalam sejarah Sulawesi Tengah dikenal dengan julukan Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat.
Semenjak tahun 1905, wilayah Sulawesi Tengah seluruhnya jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda, dari Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat, kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda dijadikan Landschap-landschap atau Pusat-pusat Pemerintahan Hindia Belanda yang meliputi, antara lain:
*   Poso Lage di Poso
*   Lore di Wianga
*   Tojo di Ampana
*   Pulau Una-una di Una-una
*   Bungku di Bungku
*   Mori di Kolonodale
*   Banggai di Luwuk
*   Parigi di Parigi
*   Moutong di Tinombo
*   Tawaeli di Tawaeli
*   Banawa di Donggala
*   Palu di Palu
*   Sigi/Dolo di Biromaru
*   Kulawi di Kulawi
*   Tolitoli di Tolitoli
Dalam perkembangannya, ketika Pemerintahan Hindia Belanda jatuh dan sudah tidak berkuasa lagi di Sulawesi Tengah serta seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat kemudian membagi wilayah Sulawesi Tengah menjadi 3 (tiga) bagian, yakni: Sulawesi Tengah bagian Barat, meliputi wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Pembagian wilayah ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi.
 Sulawesi Tengah bagian Tengah (Teluk Tomini), masuk Wilayah Karesidenan Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1919, seluruh Wilayah Sulawesi Tengah masuk Wilayah Karesidenen Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1940, Sulawesi Tengah dibagi menjadi 2 Afdeeling yaitu Afdeeling Donggala yang meliputi Tujuh Onder Afdeeling dan Lima Belas Swapraja.
 Sulawesi Tengah bagian Timur (Teluk Tolo) masuk Wilayah Karesedenan Sulawesi Timur Bau-bau. Tahun 1964 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964 terbentuklah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah yang meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten Donggala, Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Selanjutnya Pemerintah Pusat menetapkan Propinsi Sulawesi Tengah sebagai Provinsi yang otonom berdiri sendiri yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan selanjutnya tanggal pembentukan tersebut diperingati sebagai Hari Lahirnya Provinsi Sulawesi Tengah.
Dengan perkembangan Sistem Pemerintahan dan tutunan Masyarakat dalam era Reformasi yang menginginkan adanya pemekaran Wilayah menjadi Kabupaten, maka Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Buol, Morowali dan Banggai Kepulauan. Kemudian melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2002 oleh Pemerintah Pusat terbentuk lagi 2 Kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Tojo Una-Una. Kini berdasarkan pemekaran wilayah kabupaten, provinsi ini terbagi menjadi 10 daerah, yaitu 9 kabupaten dan 1 kota.

B.            Etnis Di Sulawesi Tengah
Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 15 kelompok etnis atau suku, yaitu:
*   Etnis Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu
*   Etnis Kulawi berdiam di kabupaten Donggala
*   Etnis Lore berdiam di kabupaten Poso
*   Etnis Pamona berdiam di kabupaten Poso
*   Etnis Mori berdiam di kabupaten Morowali
*   Etnis Bungku berdiam di kabupaten Morowali
*   Etnis Saluan atau Loinang berdiam di kabupaten Banggai
*   Etnis Balantak berdiam di kabupaten Banggai
*   Etnis Mamasa berdiam di kabupaten Banggai
*   Etnis Taa berdiam di kabupaten Banggai
*   Etnis Bare'e berdiam di kabupaten Touna
*   Etnis Banggai berdiam di Banggai Kepulauan
*   Etnis Buol mendiami kabupaten Buol
*   Etnis Tolitoli berdiam di kabupaten Tolitoli
*   Etnis Tomini mendiami kabupaten Parigi Moutong
*   Etnis Dampal berdiam di Dampal, kabupaten Tolitoli
*   Etnis Dondo berdiam di Dondo, kabupaten Tolitoli
*   Etnis Pendau berdiam di kabupaten Tolitoli
*   Etnis Dampelas berdiam di kabupaten Donggala
Di samping 13 kelompok etnis, ada beberapa suku hidup di daerah pegunungan seperti suku Da'a di Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea dan Suku Ta' di Banggai dan suku Daya di Buol Tolitoli. Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang saling berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya, namun masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar sehari-hari.
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Suku pendatang yang juga banyak mendiami wilayah Sulawesi Tengah adalah Bugis, Makasar dan Toraja serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.128.000 jiwa yang mayoritas beragama Islam, lainnya Kristen, Hindu dan Budha. Tingkat toleransi beragama sangat tinggi dan semangat gotong-royong yang kuat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian penduduk dengan padi sebagai tanaman utama. Kopi, kelapa, kakao dan cengkeh merupakan tanaman perdagangan unggulan daerah ini dan hasil hutan berupa rotan, beberapa macam kayu seperti agatis, ebony dan meranti yang merupakan andalan Sulawesi Tengah.
Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan diketuai oleh ketua adat disamping pimpinan pemerintahan seperti Kepala Desa. Ketua adat menetapkan hukum adat dan denda berupa kerbau bagi yang melanggar. Umumnya masyarakat yang jujur dan ramah sering mengadakan upacara untuk menyambut para tamu seperti persembahan ayam putih, beras, telur serta tuak yang difermentasikan dan disimpan dalam bambu.

C.           Masyarakat
Penduduk Sulawesi Tengah terdiri atas beberapa kelompok etnik dan masih terbuka bagi transmigran dari Sulawesi Utara dan Selatan, Jawa dan Bali, yang telah bermukim disana. Di Kabupaten Donggala terdapat suku Kaili, Tomini dan Kulawi. Masyarakat Poso dibagi menjadi Lore, Pamona, Mori dan Bungku.
Di Kabupaten Banggai ada suku Banggai, Saluan dan Balanta, sedangkan di Toli-Toli ada suku Toli-Toli, Dondo dan Buol. Beberapa kelompok ini selanjutnya dibagi menjadi beberapa sub kelompok yang memiliki tradisi tersendiri yaitu:
1.
Suku Kaili yang menghuni sebagian besar Kabupaten Donggala, dibagi menjadi 4 sub kelompok yang memiliki bahasa tersendiri.
2.
Suku Kulawi di Donggala dibagi dalam 2 sub kelompok yang satu menggunakan bahasa Kaili dan yang lainnya dialek Kulawi Lindu.
3.
Suku Lore dengan 3 sub kelompok yang hidup di Poso yaitu sub kelompok yang menggunakan dialek Kaili Tawaili, tinggal di sebelah utara kabupaten tersebut, dan 2 sub kelompok lainnya yang memiliki bahasa tersendiri yaitu Napu dan Bada.
4.
Kelompok Pamona di Kabupaten Poso berbicara dalam satu bahasa yang hidup disepanjang pantai utara dan Danau Poso.
5.
Suku Mori yang memiliki bahasa tersendiri dan tinggal di Mori Atas dan sekitarnya.
6.
Kelompok Bungku yang terletak di pantai sebelah tenggara Kabupaten Poso di Kabupaten Morowali.
7.
Kelompok Saluan di sekitar Luwuk Kab. Banggai.
8.
Kelompok Balantak yang mendiami pantai sebelah timur Kabupaten Banggai.
9.
Suku Banggai yang terdapat di kepulauan Banggai.
10.
Kelompok Buol di pantai bagian utara Toli-Toli.
11.
Kelompok Toli-Toli terdapat di beberapa Kecamatan Buol Toli-Toli.
12.
Suku-suku terasing.
Disamping beberapa kelompok etnik di atas ada beberapa suku terasing hidup di daerah pegunungan seperti Tolare di Donggala, Wana di Poso, Sea-Sea di Luwuk, dan Daya di Buol Toli-Toli.
Meskipun mereka memiliki bahasa tersendiri yang kira-kira 22 bahasa, yang saling berbeda antara yang satu dengan yang lainnya merekapun berbicara dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional, bahasa pengantar di sekolah dan bahasa resmi.
Dengan posisinya di jantung pulau, Sulawesi Tengah telah dihuni oleh masyarakat yang pindah dari Bali. Hal ini telah dipercepat dengan adanya usaha pemerintah untuk memindahkan sebagian masyarakat Jawa dan Bali ke daerah yang masih jarang penduduknya.
Penduduk daerah ini sekitar 1,5 juta jiwa yang mayoritas beragama Islam dan lainnya Kristen, Hindu dan Budha.
Pertanian merupakan sumber utama pencaharian dengan padi sebagai tanaman utama serta masyarakat yang sebagian besar bermukim di pedesaan, telah meningkatkan laju daya baca di daerah-daerah terpencil.
Dengan demikian mudah berkomunikasi dalam bahasa Indonesia baik terhadap anak-anak maupun yang dewasa.
Tingkat toleransi yang tinggi dan semangat gotong-royong merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Penyelenggaraan Hidup dalam Masyarakat antara lain yaitu :
1.  Pemenuhan Kebutuhan
Pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan cara-cara pemenuhan kebutuhan dari zaman kuno. Untuk beberapa daerah sudah mulai di lakukan penanaman padi. Di Toli-Toli sudah mulai mengenal penanaman padi, yaitu pada tempat-tempat yang di genangi air. Mereka yang menanam di rawa belum mengetahui teknik pengaturan air hingga padi di tanamnya sampai tua tetap tergenang dalam air. Sudah mulai penanaman sagu (yang tadinya hanya tumbuh sendiri di hutan-hutan) dan kelapa yang sering dijadikan emas kawin. Mereka sudah mulai memelihara binatang ternak seperti ayam, anjing (untuk berburu), kerbau dan sapi. Di samping pertanian lading di beberapa tempat sudah mulai mengerjakan sawah. Juga berburu dan mengambil hasil hutan seperti rotan, dammar, untuk kebutuhan sendiri-sendiri.
2. Hubungan Antargolongan
Dalam masyarakat semakin jelas adanya kelompo-kelompok raja, bangsawan, orng merdeka, budak atau hamba. Hubungan antara golongan-golongan in di atur oleh adat yang sudah melembaga dalam masyarakat. Di Toli-Toli antara golongan Unbokilan dan Manuru sudah ada kerukunan. Tingkatan-tingkatan dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
  1. Keluarga Bangsawan di sebut golongan 12 Tua.
  2. Keluarga Bangsawan Muda di sebut golongan 12 Muda, atau 8.
  3. Keluarga orang biasa di sebu golongan 4.
Perbedaan atau pembagian lapisan masyarakat ini amat menonjol dan nyata sekali pada waktu adapt upacara-upacara perkawinan, kematian dan sebagainya.


D.           Budaya Masyarakat Sulawesi Tengah
Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama.
Karena banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah Luwuk dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.
Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan. Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-pusat penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India dan Jepang masih dapat ditemukan.
Sementara masyarakat pegunungan memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang dan hanya memiliki satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri.
Buya atau sarung seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa. Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat.

E.       Kepercayaan Masyarakat Sulawesi Tengah
Penduduk Sulawesi Tengah sebagian besar memeluk agama Islam. Tercatat 72.36% penduduknya memeluk agama Islam, 24.51% memeluk agama Kristen dan 3.13% memeluk agama Hindu serta Budha. Islam disebarkan di Sulawesi Tengah oleh Datuk Karamah, seorang ulama dari Sumatera Barat dan diteruskan oleh Al Alimul Allamah Al-Habib As Sayyed Idrus bin Salim Al Djufri, seorang guru pada sekolah Alkhairaat dan juga diusulkan sebagai Pahlawan nasional. Salah seorang cucunya yang bernama Salim Assegaf Al Jufri menduduki jabatan sebagai Menteri Sosial saat ini.
Agama Kristen pertama kali disebarkan di kabupaten Poso dan bagian selatan Donggala oleh missioner Belanda, A.C Cruyt dan Adrian.



 
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Kependudukan merupakan salah satu aspek yang memerlukan perhatian dalam proses pembangunan, seperti jumlah komposisi dan  distribusi penduduk. Penduduk yang di dominasi oale kelompok muda usia mengakibatkan besarnya kebutuhan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Daerah yang proporsi kaum muda usianya cukup besar berarti proporsi penduduk usia produtifnya relatif kecil  yang secara ekonomis berpengaruh pada pendapatan yang di hasilkan. Penduduk yang tersebar secara tidak merata dapat berakibat pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang. Daerah yang sedikit penduduknya relafif sulit berkembang karena kekurangan sumber daya manusia sebagai penggerak pembangunan sakaligus sebagai sasaran pembangunan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar